Ini adalah salah satu penggalan kisah David G. Booth (lahir 1946) yang
menarik. Ini kisah tentang orang yang tetap mempertahankan prinsip menjadi
orang baik dan memelihara harapan. Kisah ini saya dapatkan dari sahabat saya
Ibu Elisabeth Ning di Depok melalui pesan Whatsapp. Terima kasih kepada Bu Ning
dan entah siapa yang telah menyusun kisah ini untuk kali pertama. Saya akan
bagi kisah ini dalam dua posting supaya
setiap posting tidak terlalu panjang. Semoga cerita ini berguna.
JUJUR DALAM HAL KECIL, TUHAN PERCAYAI DALAM HAL BESAR
(Bagian
pertama)
David
kuliah di fakultas perdagangan di sebuah perguruan tinggi di Arlington USA.
Kehidupan kampusnya, terutama mengandalkan kiriman dana bulanan secukupnya dari
orang tuanya.
Entah
bagaimana, sudah dua bulan ini keluarga rumah tidak mengirimi uang ke David
lagi. Di kantong David hanya tersisa satu keping dollar saja. Dengan perut
keroncongan David berjalan ke bilik telepon umum, memasukkan seluruh dananya,
yaitu satu keping uang logam itu, ke dalam telepon.
“Halo,
apa kabar?” telpon telah tersambung; ibu David yang berada ribuan kilometer
jauhnya berbicara.
Dengan
nada agak terisak David berkata, “Mama, saya tidak punya uang lagi; sekarang saya
sedang bingung karena kelaparan.”
Ibu
David berkata, “Anakku tersayang, Mama tahu.”
“Sudah
tahu, kenapa masih tidak mengirim uang?” David baru saja hendak melontarkan
dengan penuh kekesalan pertanyaan tersebut kepada sang ibu, mendadak merasakan
perkataan ibunya mengandung sebuah kesedihan yang mendalam. Firasat David
mengatakan ada yang tidak beres, ia cepat-cepat bertanya, “Mama, apa yang telah
terjadi di rumah?”
Ibu
David berkata, “Anakku, papamu terkena penyakit berat, sudah 5 bulan ini.
Sakitnya tidak saja telah meludeskan seluruh tabungan. Bahkan karena sakit,
papamu telah kehilangan tempat kerjanya; sumber penghasilan satu-satunya di
rumah telah terputus. Oleh karena itu, sudah dua bulan ini kami tidak
mengirimimu uang lagi. Mama sebenarnya tidak ingin mengatakannya kepadamu,
tetapi kamu sudah dewasa, sudah saatnya mencari nafkah sendiri.”
Ibu
David berbicara sampai disitu, dan tiba-tiba ia menangis tersedu sedan. Di
ujung telepon lainnya, air mata David juga, “tes”, “tes” tak hentinya menetes, dan
ia berpikir, “Kelihatannya saya harus drop
out dan pulang kampung.”
David
berkata kepada ibunya, “Mama, jangan bersedih. Sekarang juga saya akan mencari
pekerjaan, pasti akan menghidupi kalian.”
Kenyataan
yang pahit telah membuat David terpukul hingga pusing tujuh keliling. Masih satu
bulan lagi semester kali ini akan selesai. Jikalau memiliki uang, entah 8 atau
10 dollar saja, maka David mampu bertahan hingga liburan tiba, kemudian
menggunakan dua bulan masa liburan untuk bekerja menghasilkan uang. Akan tetapi
sekarang satu sen pun ia tak punya; mau tak mau ia harus drop out.
Detik
ketika David mengatakan “Sampai jumpa” kepada ibunya dan meletakkan gagang
telpon itu sungguh secara luar biasa menyakitkan. Prestasi kuliahnya sangat
bagus dania juga menyukai kehidupan di kampus fakultas perdagangan di Arlington
tersebut.
David hanya bisa berdoa kepada Tuhan, mengucap syukur dan mendoakan untuk kesembuhan ayahnya dan menyerahkan semua ini hanya kepada Tuhan.
Sesudah
meletakkan gagang telpon, pesawat telpon umum tersebut mengeluarkan bunyi gaduh.
David dengan terkejut dan terbelalak menyaksikan banyak keping dollar
menggerojok keluar dari alat itu. David berjingkrak kegirangan, segera
menjulurkan tangannya menerima uang-uang tersebut. Sekarang, terhadap uang-uang
itu, bagaimana menyikapinya? Hati David masih merasa sangsi: diambil untuk diri
sendiri, 100% boleh, pertama: karena tidak ada yang tahu, kedua: dirinya
sendiri betul-betul sedang membutuhkan.
Namun
setelah bolak-balik mempertimbangkannya, David merasa tidak patut memilikinya.
Setelah melalui sebuah pertarungan konflik batin yang hebat, David memasukkan
salah satu keping dolar itu ke dalam telepon dan menghubungi bagian pelayanan
umum perusahaan telepon.
Mendengar
penuturan David, nona petugas pelayanan umum berkata, “Uang itu milik
perusahaan telepon, maka itu harus segera dikembalikan (ke dalam mesin
telepon).”
Kisah
ini dilanjutkan ke bagian kedua.
No comments:
Post a Comment