Thursday 2 March 2017

KEJUJURAN DAVID G. BOOTH




Ini adalah salah satu penggalan kisah David G. Booth (lahir 1946) yang menarik. Ini kisah tentang orang yang tetap mempertahankan prinsip menjadi orang baik dan memelihara harapan. Kisah ini saya dapatkan dari sahabat saya Ibu Elisabeth Ning di Depok melalui pesan Whatsapp. Terima kasih kepada Bu Ning dan entah siapa yang telah menyusun kisah ini untuk kali pertama. Saya akan bagi kisah ini dalam dua  posting supaya setiap posting tidak terlalu panjang. Semoga cerita ini berguna.

JUJUR DALAM HAL KECIL, TUHAN PERCAYAI DALAM HAL BESAR
(Bagian pertama)



David kuliah di fakultas perdagangan di sebuah perguruan tinggi di Arlington USA. Kehidupan kampusnya, terutama mengandalkan kiriman dana bulanan secukupnya dari orang tuanya.



Entah bagaimana, sudah dua bulan ini keluarga rumah tidak mengirimi uang ke David lagi. Di kantong David hanya tersisa satu keping dollar saja. Dengan perut keroncongan David berjalan ke bilik telepon umum, memasukkan seluruh dananya, yaitu satu keping uang logam itu, ke dalam telepon.



“Halo, apa kabar?” telpon telah tersambung; ibu David yang berada ribuan kilometer jauhnya berbicara.



Dengan nada agak terisak David berkata, “Mama, saya tidak punya uang lagi; sekarang saya sedang bingung karena kelaparan.”



Ibu David berkata, “Anakku tersayang, Mama tahu.”



“Sudah tahu, kenapa masih tidak mengirim uang?” David baru saja hendak melontarkan dengan penuh kekesalan pertanyaan tersebut kepada sang ibu, mendadak merasakan perkataan ibunya mengandung sebuah kesedihan yang mendalam. Firasat David mengatakan ada yang tidak beres, ia cepat-cepat bertanya, “Mama, apa yang telah terjadi di rumah?”



Ibu David berkata, “Anakku, papamu terkena penyakit berat, sudah 5 bulan ini. Sakitnya tidak saja telah meludeskan seluruh tabungan. Bahkan karena sakit, papamu telah kehilangan tempat kerjanya; sumber penghasilan satu-satunya di rumah telah terputus. Oleh karena itu, sudah dua bulan ini kami tidak mengirimimu uang lagi. Mama sebenarnya tidak ingin mengatakannya kepadamu, tetapi kamu sudah dewasa, sudah saatnya mencari nafkah sendiri.”



Ibu David berbicara sampai disitu, dan tiba-tiba ia menangis tersedu sedan. Di ujung telepon lainnya, air mata David juga, “tes”, “tes” tak hentinya menetes, dan ia berpikir, “Kelihatannya saya harus drop out dan pulang kampung.”



David berkata kepada ibunya, “Mama, jangan bersedih. Sekarang juga saya akan mencari pekerjaan, pasti akan menghidupi kalian.”



Kenyataan yang pahit telah membuat David terpukul hingga pusing tujuh keliling. Masih satu bulan lagi semester kali ini akan selesai. Jikalau memiliki uang, entah 8 atau 10 dollar saja, maka David mampu bertahan hingga liburan tiba, kemudian menggunakan dua bulan masa liburan untuk bekerja menghasilkan uang. Akan tetapi sekarang satu sen pun ia tak punya; mau tak mau ia harus drop out.



Detik ketika David mengatakan “Sampai jumpa” kepada ibunya dan meletakkan gagang telpon itu sungguh secara luar biasa menyakitkan. Prestasi kuliahnya sangat bagus dania juga menyukai kehidupan di kampus fakultas perdagangan di Arlington tersebut.


David hanya bisa berdoa kepada Tuhan, mengucap syukur dan mendoakan untuk kesembuhan ayahnya dan menyerahkan semua ini hanya kepada Tuhan.



Sesudah meletakkan gagang telpon, pesawat telpon umum tersebut mengeluarkan bunyi gaduh. David dengan terkejut dan terbelalak menyaksikan banyak keping dollar menggerojok keluar dari alat itu. David berjingkrak kegirangan, segera menjulurkan tangannya menerima uang-uang tersebut. Sekarang, terhadap uang-uang itu, bagaimana menyikapinya? Hati David masih merasa sangsi: diambil untuk diri sendiri, 100% boleh, pertama: karena tidak ada yang tahu, kedua: dirinya sendiri betul-betul sedang membutuhkan.



Namun setelah bolak-balik mempertimbangkannya, David merasa tidak patut memilikinya. Setelah melalui sebuah pertarungan konflik batin yang hebat, David memasukkan salah satu keping dolar itu ke dalam telepon dan menghubungi bagian pelayanan umum perusahaan telepon.



Mendengar penuturan David, nona petugas pelayanan umum berkata, “Uang itu milik perusahaan telepon, maka itu harus segera dikembalikan (ke dalam mesin telepon).”



Kisah ini dilanjutkan ke bagian kedua.

No comments: