Thursday 30 October 2008

JUNTRUNGAN KRISIS SUBPRIME DI AMERIKA SERIKAT

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi
Oleh: Dahlan Iskan (Pimpinan Jawa Pos Group)

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya ''menceritakan' ' secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:
Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya. Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat.
Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka. Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung. Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak. Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.
Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi? Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres? Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop.
Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over. Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan. Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.
Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi. Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun! Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya.
Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia. Tapi, itu belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized! Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup. Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah? Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?
Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian. Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.
Begini ceritanya: Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama). Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.
Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage. Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait. Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986. Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.
Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin. Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.
Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas. Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.
Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers? Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba. Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank. Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.
Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.
Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking. Apakah investment banking itu bank? Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan!
Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu. Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.
Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana , saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu. Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator.
Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow. Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.
Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun. Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran. Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya. Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang.
Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar. Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.
Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi? Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu.
Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ''menabung'' - kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu. Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok. Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana .
Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.(*)
Sumber: Jawa Pos - Minggu, 28 September 2008

Wednesday 15 October 2008

BURLA SUJATA: MERAIH KEUNTUNGAN Rp 700 JUTA PER BULAN


Dengan komputer jinjing dan televisi di rumahnya, Sujata bekerja memantau pergerakan harga saham. Sujata adalah investor saham andal di India. Tahun 2007 yang lalu, pendapatan bersihnya per bulan adalah sekitar US$ 49.910 (Rp 460.000) hingga US$ 76.260 (Rp 700 juta). Tahun ini, di tengah krisis keuangan global, Sujata tetap mencatat pendapatan tinggi dari saham-saham yang dia beli dan jual.

Yang luar biasa dari Sujata adalah karena perempuan kaya raya dan sangat disegani ini sebenarnya secara fisik lumpuh akibat kecelakaan tahun 2001 yang lalu. Pada tahun-tahun awal setelah kecelakaan yang melumpuhkannya, ia memang sempat merasa terpukul dan hampir putus asa, namun ia bangkit walapun untuk dapat beraktivitas ia memerlukan bantuan orang lain. Karena itu ia bekerja dari rumah. Yang dapat dipelajari darinya adalah bahwa ia tidak mau menyerah pada kelemahan fisiknya.

Hebatnya, pada tahun 2004 ketika dia hendak memulai usaha di bidang saham, Sujata tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan sama sekali tentang ekonomi, saham dan perdagangan saham. Ia dulu hanya tahu tentang toko kecil yang dimilikinya. Karena itu, Sujata menghabiskan waktu sekitar 1 tahun untuk belajar sendiri tentang saham dan perdagangan saham. Ia menghabiskan hari-hari dalam satu tahun dengan membaca buku, artikel surat kabar dan majalah, mempelajari analisis saham di televisi, membaca website tentang saham dan sebagainya. Sebagai orang yang tidak punya latar belakang yang kuat dalam ekonomi dan tidak dapat menghadiri kursus-kursus secara normal seperti orang lain, Sujata memang memerlukan waktu 1 tahun. Ia benar-benar sangat tekun belajar.

Mulailah Sujata terjun dalam perdagangan saham di tahun 2005. Saham pertama yang ia beli adalah saham blue chip milik perusahaan seperti Reliance Industries, Hero Honda, ACC dan IDBI. Pengalaman pertama itu dianggapnya gagal total karena ia memang tidak mendapat keuntungan apa pun. Ia belum tahu kapan saat yang tepat baik untuk membeli maupun menjual saham. Ia belajar dari banyak pengalaman kegagalan. Lambat laun, ia mulai memahami berbagai strategi sukses di pasar saham. Ia mencermati seluruh informasi dan saran dari berbagai saluran televisi bisnis, surat kabar dan teman-temannya yang paham tentang saham. Namun ia selalu berhati-hati dan disiplin mengolah dan menerapkan informasi itu. Sujata menyarankan jangan terlalu berani bertaruh dalam perdagangan saham melebihi perkiraan yang masuk akal. Pemain yang awam harus meminta ide dari toga broker saham. Kunci sukses lainnya adalah fleksibilitas dalam perdagangan saham. Ia bukan tipe orang yang tergesa-gesa. Tidak masalah baginya jika kadang-kadang ia rugi sedikit asal dengan perhitungan matang ia akan mencetak laba besar.

Hidup Sujata kini menjadi bergairah meskipun ia secara fisik memiliki keterbatasan. Ujarnya, “Kini saya memiliki keyakinan bahwa saya dapat melakukan segalanya seperti orang lain yang normal. Saya secara finansial telah mandiri.” Ya... dalam kelemahannya, Sujata telah menjadi kuat daripada sebelumnya.

(Diambil dan diringkat dari Seputar Indonesia, September 2007)

TUNG DESEM WARINGIN: BERJUANG MENCETAK ORANG-ORANG DAHSYAT


Siapa yang tidak kenal dengan Tung Desem Waringin (TDW)? Gaya bicaranya ceplas-ceplos, spontan, apa adanya, tanpa “tedheng aling-aling” alias tanpa ada yang disembunyikan. Orangnya enerjik, antusias, selalu bersemangat, optimis dan tidak kenal lelah. Bila ia berbicara di depan umum, antusiasme dalam dirinya membakar para pendengarnya untuk mengikuti apa yang dikatakannya. Ya... TDW benar-benar seorang pembicara ulung, motivator dahsyat, pembakar semangat, dan pelita bagi banyak orang yang sedang mencari solusi untuk keluar dari keterpurukan pribadinya, kehancuran bisnisnya, kelesuan usahanya, kehilangan semangat hidupnya dan berbagai masalah lainnya.

Seminar-seminar yang diadakannya secara rutin menarik ratusan bahkan ribuan orang untuk hadir… mereka rela membayar tiket berapa pun harganya asal bertemu orang “nyentrik” ini. Dua buku dahsyat yang telah diterbitkan oleh PT Gramedia, yaitu Financial Revolution dan Marketing Revolution, tidak saja fenomenal karena terjual habis di atas 10.000 eksemplar dalam satu hari pada hari pertama peluncuran, namun lebih dari itu mampu membantu ribuan orang untuk bangkit dari kelesuan, keterpurukan dan kebangkrutan menuju ke kesuksesan luar biasa secara benar dan efektif.

Itu semua memang menjadi cita-cita TDW sejak banting stir dari kedudukannya yang “wah” sebagai pimpinan cabang sebuah bank ternama beberapa tahun yang lalu. Ia ingin meraih kebebasan financial bagi dirinya dan bagi keluarganya, dan pengalamannya itu ingin dibagikannya kepada sebanyak mungkin orang. TDW berjanji untuk menjadi seorang pejuang seperti halnya Jendral Sudirman yang berjuang demi bangsa Indonesia. Namun, tidak seperti Jendral Sudirman yang berjuang dengan mengangkat senjata melawan penjajah, TDW ingin berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Lewat penulisan dan penerbitan buku, artikel di surat-surat kabar dan majalah, seminar-seminar, siaran-siaran radio, penerbitan CD, VCD, DVD, poster, website dan sebagainya TDW ingin mengajak bangsanya bangkit menuju kejayaan.

Seperti apa gaya hidupnya sekarang? TDW sekarang tinggal di perumahan di kawasan elit Lippo Karawaci. Ia hidup bahagia bersama istri dan ketiga anaknya. Ia biasa menikmati waktunya dengan keluarganya. Hidupnya tidak pernah mengalami kekurangan. Berbagai bisnis dimilikinya, termasuk property dan saham, tanpa campur tangannya sendiri. Ia biasa bepergian dengan helicopter atau pesawat yang disewanya. Namun di balik itu, ia juga seorang yang sangat dermawan, sedia membantu mereka yang berkekurangan dan aktif dalam kegiatan social.

Dilihat dari sejarah hidupnya, TDW adalah seorang yang ulet dan pekerja keras sekaligus pekerja cerdas. Ia lahir dari keluarga pedagang dan pengusaha. Dari kecil ia sudah biasa diajarkan untuk menghargai kerja keras. Dari kecil TDW sudah belajar untuk selalu focus pada apa yang hendak diraih. Didikan orang tuanya membuatnya selalu sukses dalam studi. Pada akhirnya ia meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Sebelas Maret Solo. Selama menjadi mahasiswa, ia mencetak beberapa prestasi buat kampusnya, antara lain dengan menjadi juara cerdas cermat atau debat atau karya tulis dalam beberapa lomba tingkat daerah maupun tingkat nasional.

Selepas dari kampus, ia bekerja di BCA dan meniti karir dari tingkat bawah. Ia adalah tipe orang kreatif yang tidak ragu-ragu untuk mengusulkan gagasan-gagasan baiknya kepada para pimpinannya. Karena keberaniannya membuat terobosan-terobosan dalam pekerjaannya, karirnya menanjak dengan cepat. Kesempatan itu digunakan TDW untuk belajar banyak dan melakukan berbagai inovasi sehingga kantor-kantor cabang BCA yang dipimpinnya selalu mencetak prestasi mengagumkan. Bahkan ketika terjadi krisis moneter tahun 2008, kantor cabang yang dipimpinnya mengalami surplus tabungan; artinya tidak terkena “rush”, bahkan mencetak pendapatan yang tinggi.

Titik balik karirnya terjadi ketika ayahnya sakit keras tahun. Saat itu, TDW bersama keluarganya harus membawa ayah mereka berobat ke Singapore. TDW merasakan ketidakberesan dalam hidupnya; ia merasakan ketidakadilan ketika menjumpai kenyataan bahwa biaya pengobatan ayahnya untuk satu malam di Singapore melebihi gajinya di bank dalam satu bulan. TDW tidak habis pikir… ia adalah seorang pimpinan cabang bank ternama dan gajinya sangat besar, namun toh uang yang ia miliki tidak cukup untuk membiayai ayahnya, bahkan untuk satu malam saja. Deep in his heart… dia memberontak dan berjanji untuk memutus mata rantai kekurangannya ini. Ia berhasrat untuk merdeka…

Ketika ayahnya sakit dan uangnya hampir habis, TDW mengambil keputusan untuk mengikuti seminar yang diadakan oleh motivator ternama dari Amerika, yaitu Anthony Robbins. Tiket mahal ia beli… dengan janji kuat dalam hatinya bahwa tidak lama lagi ia akan dapat mengganti semua yang telah ia habiskan. TDW sangat berhasrat untuk sukses. Ia selalu mau belajar dari pengalamannya sendiri dan dari orang lain.

Yang kemudian terjadi adalah TDW belajar banyak dari Anthony Robbins. Ia keluar dari bank tempatnya bekerja dengan nyaman. Ia mulai mempraktikkan apa yang diajarkan oleh Anthony Robbins dan orang-orang hebat yang dikenalnya atau paling tidak yang buku-bukunya ia baca, baik dalam hidup sehari-hari di rumah, di jalan, dalam pertemuan dengan orang dan dalam berbisnis. Dia mendapati bahwa harus ada jalinan dan kesatuan antara kata dan perbuatan. Misalnya, untuk memupuk semangatnya, ia tidak segan-segan berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak “Aku bisa.” Ia mulai merintis usahanya dengan memberi seminar, konsultasi, menjual produk property, dan sebagainya. Hasilnya… lihatlah TDW sekarang.

Untuk mengenal kedahsyatan gagasan-gagasannya, kita dapat mengikuti seminar-seminarnya, membaca buku-bukunya dan membuka websitenya. Sebagaimana banyak orang lain yang menjadi sukses “gara-gara” TDW, kita pun dapat menjadi sukses bila mau mempraktikkan apa yang diajarkannya dalam Financial Revolution dan Marketing Revolution. Kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya adalah “dahsyat”. TDW juga bermimpi bahwa Anda juga dapat menjadi seseorang yang “dahsyat”.

Referensi untuk Anda:
Buku FINANCIAL REVOLUTION
Buku MARKETING REVOLUTION
Website: http://www.dahsyat.com/

Salam dahsyat.