Thursday 15 June 2017

NARSIS


Ini adalah kutipan tulisan dari Romo Markus Marlon, yang dibagikan oleh Bapak Fred dalam grup Koor Gregorian SCB Katedral Bogor.

Ada orang yang bertanya pada saya, “Apa beda antara tamak dan narsis?” Saya jawab, “Tidak tahu.”

Kemudian dia berkata, “Tamak itu, menurut Aesop (620 – 560 seb. M) seumpama kisah seekor anjing yang menggigit tulang dan di tepi danau dan ia melihat pantulannya sendiri. Ia mengira pantulan atau bayangan itu adalah anjing lain, maka ia ingin merebut tulang itu. Ia mencebur dan akhirnya mati.”

Kemudian saya tanya, “Kalau narsis?” Sambil membaca di tabletnya, ia berkata, “Narsis itu berasal dari nama Narkissos, pemuda yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri di dalam air. Orang itu tidak mencebur, namun ia memandang terus-menerus dan mengagumi bayangannya sendiri yang dikiranya peri.”

Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo dalam bukunya yang berjudul "Mitologi Yunani"  menulis bahwa Narkissos itu mati karena putus asa atau kelelahan yang ingin memeluk bayangannya sendiri, namun setiap kali hendak memeluknya bayangan itu menghilang.

Kata "narsis" ini sangat popular di era "net-working" ini. Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya sendiri ke dunia maya. Dari anak kecil hingga ibu-ibu, tidak pernah lupa menggenggam HP, smartphone maupun tablet yang siap untuk membawanya ke dunia maya.

Bahkan ada orang yang menggantikan profile  picture dalam satu hari bisa puluhan kali. Misalnya, ketika sedang makan bersama teman-teman ambil foto dan upload sedang jalan-jalan ke di mall dia upload  sedang senam di sanggar upload. Tiada hari tanpa  mejeng. Narsis seolah-olah menjadi gaya hidup.

Dalam psikologi, narcissism diartikan sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan berupa kecenderungan untuk memuja diri sendiri, rasa tertarik yang berlebihan pada kesempurnaan dirinya sendiri.

Orang yang narsis itu mengerahkan segala kekuatannya untuk menampilkan dirinya dan “dunia” harus mengakuinya, totally absorbed.  Ia begitu asyik dengan dirinya sendiri dan seolah-olah orang lain hanya numpang lewat. Orang lain seolah-olah tidak ada artinya. Lihat saja, bagaimana ketika makan bersama dalam satu meja makan: masing-masing orang memegang gadget-nya dan membaca komentar-komentar dari apa yang sudah dia upload. Ia menjadi egoist dan semua harus mengarah ke dirinya sendiri (egocentric).

Setiap saat, ia menunggu-nunggucomment dari pertemanannya di FB, WA, twitter  maupun media sosial lainnya. Orang tersebut bagaikan Narkissos yang melihat bayangannya sendiri di tepi sungai berjam-jam lamanya.

Orang yang narsis itu melelahkan. Ia lelah karena memaksakan dirinya untuk tampil sesempurna mungkin di profile picture. Bayangkan, jika ia harus ganti  picture beberapa kali, berarti dirinya harus action dengan pakaian serta background yang mengundang decak kagum maupun comment dari pertemanannya.

Orang ini berpikir, “What next?” Bagaimana penampilanku berikutnya, supaya mendapatkan pujian, acungan jempol. “Melelahkan bukan?”

Rabu, 14 Juni 2017
Pastor Markus Marlon, MSC

"Capitulatim  notae literarum” – Catatan-catatanku hanya singkat-singkat saja. (PS)

No comments: