Ini adalah kutipan tulisan dari Romo Markus Marlon, yang dibagikan oleh Bapak Fred dalam grup Koor Gregorian SCB Katedral Bogor.
Ada orang yang bertanya pada saya,
“Apa beda antara tamak dan narsis?” Saya jawab, “Tidak tahu.”
Kemudian dia berkata, “Tamak itu,
menurut Aesop (620 – 560 seb. M) seumpama kisah seekor anjing yang menggigit
tulang dan di tepi danau dan ia melihat pantulannya sendiri. Ia mengira
pantulan atau bayangan itu adalah anjing lain, maka ia ingin merebut tulang
itu. Ia mencebur dan akhirnya mati.”
Kemudian saya tanya, “Kalau narsis?”
Sambil membaca di tabletnya, ia berkata, “Narsis itu berasal dari nama
Narkissos, pemuda yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri di dalam air. Orang
itu tidak mencebur, namun ia memandang terus-menerus dan mengagumi bayangannya
sendiri yang dikiranya peri.”
Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo
dalam bukunya yang berjudul "Mitologi Yunani" menulis bahwa
Narkissos itu mati karena putus asa atau kelelahan yang ingin memeluk
bayangannya sendiri, namun setiap kali hendak memeluknya bayangan itu
menghilang.
Kata "narsis" ini sangat popular
di era "net-working" ini. Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya
sendiri ke dunia maya. Dari anak kecil hingga ibu-ibu, tidak pernah lupa
menggenggam HP, smartphone maupun tablet yang siap untuk membawanya ke dunia
maya.
Bahkan ada orang yang menggantikan profile
picture dalam satu hari bisa puluhan kali. Misalnya, ketika sedang makan
bersama teman-teman ambil foto dan upload sedang jalan-jalan ke di mall dia upload
sedang senam di sanggar upload. Tiada hari tanpa mejeng. Narsis
seolah-olah menjadi gaya hidup.
Dalam psikologi, narcissism
diartikan sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan berupa kecenderungan untuk
memuja diri sendiri, rasa tertarik yang berlebihan pada kesempurnaan dirinya
sendiri.
Orang yang narsis itu mengerahkan
segala kekuatannya untuk menampilkan dirinya dan “dunia” harus mengakuinya, totally
absorbed. Ia begitu asyik dengan dirinya sendiri dan seolah-olah orang lain
hanya numpang lewat. Orang lain seolah-olah tidak ada artinya. Lihat saja,
bagaimana ketika makan bersama dalam satu meja makan: masing-masing orang
memegang gadget-nya dan membaca komentar-komentar dari apa yang sudah dia upload.
Ia menjadi egoist dan semua harus mengarah ke dirinya sendiri (egocentric).
Setiap saat, ia menunggu-nunggucomment
dari pertemanannya di FB, WA, twitter maupun media sosial lainnya. Orang
tersebut bagaikan Narkissos yang melihat bayangannya sendiri di tepi sungai
berjam-jam lamanya.
Orang yang narsis itu melelahkan. Ia
lelah karena memaksakan dirinya untuk tampil sesempurna mungkin di profile
picture. Bayangkan, jika ia harus ganti picture beberapa kali, berarti
dirinya harus action dengan pakaian serta background yang mengundang decak
kagum maupun comment dari pertemanannya.
Orang ini berpikir, “What next?”
Bagaimana penampilanku berikutnya, supaya mendapatkan pujian, acungan jempol.
“Melelahkan bukan?”
Rabu, 14 Juni 2017
Pastor Markus Marlon, MSC
"Capitulatim notae
literarum” – Catatan-catatanku hanya singkat-singkat saja. (PS)
No comments:
Post a Comment